Sunday, September 23, 2012

“Jangan ikutan demo ya nak..”

“Ha? Demo?? nggaklah bu..” jawabku dangkal lalu segera berpamitan untuk segera berangkat meninggalkan Pekalongan ke Kota Pelajar.

Demo..haha hal yang tidak terpikirkan saat pemikiranku masih bocah. Hegemoni kata demo yang ada di otakku saat itu adalah fenomena kelompok orang-orang yang beramai-ramai membawa spanduk dan kertas ukuran besar bertuliskan kata-kata yang kadang tidak aku pahami, lalu membakar ban yang menimbulkan kepulan asap hitam kelam, merobohkan pagar kantor-kantor pemerintah, hingga perkelahian dan aksi lempar batu dengan aparat kepolisian yang membuat macet dimana-mana, dan darah bercucuran disana-sini.

Demikian karena itu yang “selalu” aku lihat di berita televisi. Dan yang aku lihat sebagai “demo” di situ, seperti tidak pernah ada penyelesaian, aku pun tidak pernah melihat bagaimana cara demo itu bubar. Atau, bagaimana pemerintah yang digembor-gemborkan turun meredam gemboran para demonstran misalnya. Atau mungkin, melihat salah seorang kaum kapitalis yang membatalkan rencana untuk mebangun mall di atas rumah mereka di depan riuhnya suara mereka di jalan. Tidak pernah.Yaa, mungkin media yang pelit dalam publikasikan beritanya. Mungkin karena hal ini, media, yang membuat aksi demo mendapat stigma negative dan seakan-akan hanya sia-sia. Negative yang sia-sia.

Hal itu yang membuat aku saat itu sama sekali tidak berpikir untuk menyentuh bahkan terjun kedalam aksi demo. Mungkin ini juga yang membuat Ibuku melarang keras untuk ikut demo sejak dini. Oia, mungkin perlu dijelaskan juga bahwa aku terlahir dari rahim seorang Ibu yang bekerja dengan seragam abu-abunya. Jadi bukan suatu keheranan kalau beliau tidak ingin anak-anaknya jadi demonstran liar yang harus dipaksa ditertibkan oleh keluarga besar seprofesinya seperti di tayangan televisi itu.

Namun seiring terbukanya cakrawala mengenai informasi terkait demonstrasi, melalui pengalaman-pengalaman langsung dari teman-temanku yang pernah terjun dalam aksi demo, demonstrasi kini bukan hal yang tabu di lingkunganku, apalagi sebagai mahasiswa. mahasiswa yang identik dengan aspirasinya yang kuat dan kritis menanggapi isu ketimpangan sosial.

Pernah aku bertanya kepada temanku yang pernah ikut demo buruh 1 maret 2012 kemarin.

“Buat apa si kamu ikutan demo buruh? Kan orang tuamu punya usaha sendiri, kamu sudah berkecukupan kan? Nggak nyangka ternyata kamu ikut demo juga.”

Tapi tidak kuduga dia hanya ketawa kecil memandangku konyol, “Apa kamu lupa, kalau kamu punya saudara? buruh-buruh pabrik dengan pakaian lusuh yang sering kamu lihat itu, yang kerjanya dari subuh sampai sore tapi upahnya tidak seberapa, yang diperbudak perusahaan, selalu diancam PHK yang jadi momok menakutkan buat keluarganya, selalu ingin melihat senyum anak istrinya sepulang kerja itu, mereka saudaramu yuk. Mereka menuntut hak yang sama. Pekerjaan yang pasti tanpa outsourcing atau sistem kontrak. Selama ini pengusaha yang melanggar itu tidak ada sanksi. Outsourcing itu sistem perbudakan modern, karena dia menghisap darah dan keringat buruh jadi hanya mementingkan keuntungan perusahaan semata. Kamu tau kan? dan kamu, tega? Ayolah, sudahi sikap apatismu yang semakin mencekik mereka itu.

Karena sudah berkecukupan, sebenarnya itu nilai plus buat kita untuk bisa membantu mereka. Dan mereka, sudah lemah, masih memaksakan diri menuntut hak pula. Ikut demo tu tidak seburuk yang kamu bayangkan, di sana bisa dapat banyak teman baru, solidaritas mereka tinggi, malah kebanyakan dari mereka adalah orang-orang kritis berintelektual sehingga disana banyak cerita, bisa saling berbagi. Lagian yang kemarin itu demonya tertib tanpa kekerasan, emosi dituangkan dalam tulisan-tulisan dan orasi. Selain menuntut penghapusan outsourcing, mereka juga menolak politik upah murah, menolak kenaikan BBM, dan menuntut pendidikan gratis SD-Perguruan Tinggi. Semua itu untuk kesejahteraan rakyat secara umum.

Syukur-syukur suara kita bisa didengar pemerintah, wah pasti senang sekali bisa ikut bantu. Sayangnya yang demo kemarin itu, pemerintah belum serius tanggapi unjuk rasa kaum buruh. Kayaknya kalau Perda penghapusan outsourcing belum turun, bakal ada aksi demo lagi. Perjuangan hak kaum buruh itu harga mati, jadi harusnya kita dukung.” Dia menjelaskan sambil meluruskan pandangan miringku tentang aksi demo.

“Ooh, gitu ya.” Skak matt, aku bingung mau jawab apa.

Selain demo buruh, sebelumnya, demo BBM Maret 2012 kemarin adalah demo terbesar yang pernah aku lihat dengan mata kepalaku sendiri selama tinggal satu setengah semester di DIY Yogyakarta. Malah dengar-dengar, “aksi 27 Maret” itu merupakan demo terbesar di Indonesia bahkan di dunia dengan demonstran kurang lebih sebanyak 2,5juta mengalahkan demo di Mesir saat menjatuhkan pemerintahan Husni Mubarak dan mengalahkan jumlah massa demonstrasi Tunisia yang menjatuhkan Ben Ali. Dan demonstran itu masih bisa bertambah jika dihitung pula dengan jumlah demonstran yang pasif.

Kenapa begitu heboh demonstrasi di Negeri ini? Kalau dipikir-pikir, demonstran yang mayoritas dipegang kaum mahasiswa dan buruh ini menandakan bahwa isu yang sedang terjadi memang ada yang tidak beres. Ini bukan mereka yang cari masalah kan, justru momentum ini seakan menjadi lambang dari gejala ketidakmampuan pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya.

Dan menurutku pribadi, aksi-aksi kekerasan yang terjadi dalam demonstrasi bukan sepenuhnya salah mereka. Itu hanya cari perhatian terhadap pemerintah. Seringnya media yang terus-menerus menunjukan aksi kekerasan menjadikan buram penglihatan mereka jika melihat demo tanpa tindakan anarki. Dan lagi-lagi itulah yang ditakutkan Ibuku. Haha oke aku dan mungkin kalian yang senasib bisa melakukan demonstrasi tanpa turun kejalan, bisa ikut bergerak melalui kekuatan media dan tangan aktif. Karena menurut Subcomandate Marcos, Kata adalah Senjata. Dan beruntunglah kalian yang masih mempunyai kemerdekaan bersuara itu.

Aku masih ingat humor Wiwid Prasetya saat jadi pembicara di kampusku saat aku masih maba.
“Mahasiswa memang takut sama dosen, dosen takut sama rektor, rektor takut sama menteri, menteri takut sama presiden, dan presiden? Takut sama mahasiswa.” Haha. Oia, iya juga ya.Semua berpikiran sama. Tapi, yang kebanyakan orang lihat saat ini tentang mahasiswa yang berdemo adalah asumsi tetang hal yang gila, bahkan dianggap bodoh dan sia-sia yang merelakan kulit putihnya untuk terbakar matahari di jalanan.Sedih-sedih, mahasiswa sekarang juga mulai kehilangan jati dirinya, karena kini hanya sebagian dari mereka yang mau membuat artikel dan mencerdaskan bangsa. Padahal kalau diingat-ingat lagi, anggaran 20 persen dari rakyat untuk penikmat pendidikan harusnya membuat kita berterimakasih.
Ada seorang dosen mengatakan “Ketika rakyat telah memberikan subsidi namun ketika rakyat menjerit minta pertolongan kita hanya diam, tanyalah hati nuranimu dan renungkan subsidi yang diberikan rakyat padamu.” Mungkin kalimat ini bisa kembali kita pikirkan.

Demo..Dengan stigma burukdalam media..

Padahal, di balik aksi keras para demonstran itu terkandung solidaritas kuat dan niat-niat mulia bagi kelompok mereka maupun untuk bangsa. Mereka hanya memperjuangkan hak-hak, yang diabaikan demi kekuasaan politik atau kejayaan para kaum kapitalis. Mereka mengadakan protes yang pantas saat melihat anak-anak mereka kelaparan dan kurang gizi, saudara mereka terlunta-lunta mencari pekerjaan karena gulung tikar, kedinginan saat rumah digusur hanya karena tidak punya surat kepemilikan tanah, keberatan saat ingin membayar harga barang-barang pokok yang kian melunjak, ataupun melihat anak-anak yang tak sanggup membayar sekolah. Mereka hanya berunjuk rasa, tentang rasa keberatan itu. Apa itu salah? Salah po? Terus kalo tidak dengan demo, mereka kudu piye?

01.00 wib
23-09-2012

No comments:

Post a Comment