Sunday, September 23, 2012

Halo

Saat ini aku sedang bosan menulis tulisan sampah. Tapi aku juga bosan membaca tulisan-tulisan tak berarti dari manusia. Terlebih mendengar omong kosong yang terus melimbah.
Jadi, sebenarnya kata-kata dalam ke-omong kosong-an itu perlu ada atau tidak?


-penulis blog sekedar kalimat yang penuh omong kosong-

Sebuah perasaan yang ingin bebas

“Diciptakan alam pria dan wanita.” Begitulah sepatah lirik salah satu lagu white shoes and the couples company, sabda alam.

Aku terlahir sebagai seorang yang berjenis kelamin perempuan yang beranjak jadi seorang wanita. Dalam fase ini, ada hal-hal baru yang aku alami, salah satunya perasaan suka terhadap lawan jenis. Rasa ini biasa disebut dengan “suka”, kalo ada yang menyebutnya “cinta, aku agak kurang setuju karena makna “Cinta” tidak sedangkal itu.Yang aku tulis ini tidak hanya untuk kaum cewek saja, mungkin cowok juga merasa demikian, tapi aku menjelaskan dari sudut pandang cewek karena aku adalah seratus persen cewek asli.

Oia, perasaan ini tidak bisa dikira kepada siapa kita akan merasa. Bisa dengan teman sebaya, kakak kelas, adik kelas(eh), calon om (sory tante), mas-mas jual pulsa dicounter, rekan komunitas, atau dengan artis-artis yang kita biasa kita tonton di tv. Dengan orang yang kita tidak pernah berinteraksi pun kita bisa dengan mudah suka misalnya dengan artis seperti tadi dijelaskan, atau dengan cowok kampus sebelah. Rasa ini timbul mungkin karena kagum atau suka melihat rupa yang sempurnanya.

Visualisasi wanita cantik dan pria tampan yang tampak di media biasa digambarkan dalam mengungkapkan rasa ini. Sehingga asumsi tentang hegemoni dari rasa suka atau cinta saat ini adalah munculnya gambar tentang dua manusia rupawan dengan bentuk love yang melambangkan hati. Tidak tahu juga asal muasal bentuk hati itu, katanya sih dari negara barat, tapi ini masih menjadi kontroversi. Entahlah.

Perasaan aneh ini wajar terjadi seiring bertumbuhnya hormone dalam tubuh.Konon kata peneliti yang kieng cari musabab tentang rasa ini menyebutkan hormone yang memicu rasa suka terhadap lawan jenis adalah hormone andrenalin, dopamine, dan serotonin. Untuk penjelasannya bisa searching sendiri. Tapi seiring perkembangan jaman, karena pengaruh media (lagi-lagi media), anak kecil pun bisa dengan mudah merasakan perasaan ini.

Rasa ini masih datang dan pergi dengan sangat mudah, makanya bagi seumuranku yang masih labil, aku sangat sering mendengar cerita temanku yang baru jadian lalu putus, jadian, putus, baliklagi, putus, jadian, selingkuh, putus semua.Wew.

Simple saja, sebagai cewek aku juga sering merasa labil. Didekati cowok, suka, lalu tiba-tiba muak. Didekati cowok lain, suka, muakl agi. Dekat cowok lain lagi, muak. Dekat dengan cowok yang baru, suka. Didekati cowok yang baru lagi, suka juga. Cowok yang dulu datang lagi, eeh suka lagi. Kadang suka semuanya. Kadang muak semuanya. Waaaaah, membingungkan.

Bukan geer atau sombong, itu tadi cuma pemisalan, tapi ini sudah menjadi rahasia umum. Yang lain pun aku kira sering merasakan hal yang sama. Bahkan lawan jenis yang lumayan dekat dengan mereka dianggap kalo cowok itu suka. Dan saat sedang merasa muak atau badmood, cowok itu bisa saja tiba-tiba dianggap orang jahat dengan mata sinis atau dipandang jijik oleh si cewek. Kalo cowok itu peka malah bingung “kowe ngopo e?”

Baru-baru ini malah ada trend “susah move on” hanya karena putus dengan pacar. haha tipu sekalii. Dan kalo benar iya, maka mereka kasian bangeet. Umur semuda ini hanya dihabiskan untuk memikirkan perasaan kepada satu orang saja yang dia tidak punya tanggungan apa-apa kepada-nya. Dan apabila lisannya terus berkata “aku susah move on”. Benar-benar aku kira itu adalah wujud kemunafikan semata yang mengandalkan tren untuk cari perhatian.

Aku sebenarnya cuma mau curhat mas,mbak. Sedihnya melihat teman-teman bahkan adik-adik yang dikurung dengan ikatan yang kata-katanya sih namanya ikatan cinta.Padahal cuma dengan pacar yang dalam 5 detikdikata “putus!” bubarlah ikatan itu.

Aku sendiri pernah merasakan hal yang sama. Saat ketahuan sms dengan cowok lain, pacar marah. Bonceng motor dengan teman cowok, pacar ngamuk. Berduaan dengan teman, pacar cemburu. Suka dengan cowok lain, pacar minta putus. Akhirnya bubar. Hahaha singkat sekali.

Berbeda lagi kalau sicewek belum mau diputusin, dia meminta-minta maaf dengan sang pacar dan mengatakan menyesal atau khilaf. Untuk kemudian kembali menjalankan ritual berpacarannya. Untuk yang ini, bisa sebaliknya cowok juga sering melakukan hal demikian.

Kembali ke topik awal, perasaan “suka” yang kita rasa seakan dibatasi saat kita punya pacar. Dan hal ini berdampak pula pada tatanan sosial pribadi kita sendiri. Lebih-lebih jika pacar punya sifat kecemburuan yang tinggi. Kita akan semakin sulit untuk bersosialisasi. Padahal masa-masa remaja adalah masa untuk mencari jati diri dan mencari teman sebanyak-banyaknya. Dan rasa suka dengan lawan jenis, atau gejala alam ini sebenarnya tak layak untuk dibatasi hanya untuk ego satu orang saja terlebih kita masih muda. Dalam hal ini kita seakan dipaksa untuk dewasa, layaknya pasangan suami-istri yang harus menjaga perasaan masing-masing.Wuiiiiih


Okeoke enough.
Sebenarnya yang tertulis di atas hanyalah omong kosong dari aku seorang jomblo yang sedang berbahagia hahaha. Dan sekarang aku bebas punya perasaan dengan siapa saja. Saat ini aku suka dengan siapa pun kalian tak perlu tau. Yang ku tau rasa ini indah. Mungkin itu yang membuatku sangat tidak ingin punya pacar untuk saat ini. Atau mungkin, sebenarnya malah gara-gara tidak laku. Harap maklum.

Ingat kata Sunan Kalijaga “Dadi wong ojo gumunan lan kagetan”. Perasaan ketertarikan dengan lawan jenis itu tidak lain adalah rasa yang wajar terjadi saat menginjak dewasa, jadi jangan kaget. Jika kita terlalu gumun (kagum) maka hal-hal negative bisa saja terjadi. Dimulai dari rasa ingin memiliki seutuhnya misalnya. Untuk apa memiliki? Jika untuk mempertanggungjawabkan diri sendiri saja masih terlunta-lunta. Dan untuk apa seutuhnya memiliki? Jika status memiliki ini hanya digunakan untuk menikmati hal yang harusnya kita nikmati nanti.Yang pada akhirnya berujung perbuatan hina. Padahal untuk seterusnya kita bisa saja gumun terhadap hal-hal mengagumkan yang baru lainnya karena bosan itu wajar.

Sekian. Maaf jika ada salah kata atau menyinggung perasaan. Maaf juga agak lebay.Tapi aku kudu piye. Aku hanya ingin membantu memerdekakan perasaan kalian yang ikut terjajah westernisasi. Ini hanya pembodohan. Dan untuk yang sudah berpacaran, oke lah kalau pacaran karena budaya ini sudah menjamur sehingga teman-teman kita pun menghabiskan waktu dengan pacarnya masing-masing, tapi tidak ada salahnya jika protes dengan pacar untuk kebebasan bersosialisasi kita. Tapi jangan putus cuma gara-gara kata-kata tadiya.:p Huhu. Ingat masih banyak orang tua, teman, dan keluarga yang sayang dengan kita. :)

Manja

Aku ingin menangis di pangkuanmu Ibu..
Ingin kembali manja hanya untuk sekedar disuapi makan malam
Berteriak mengeluarkan air mata tanpa tau alasan kenapa menangis
Menjerit sejadinya meyakinkan hanya kau yang kubutuhkan saat ini

Ku ganti susu yang manis lembut dengan teh berkafein
Malam hari kuminum kopi yang menemani kerjakan tugas
Fase dewasa tidak selalu manis
Seperti kopi hitam yang kuminum, nikmat pahit beraroma tajam biji kopi

Masa manjaku tak se-lama mereka sebayaku
Kau semakin sibuk dengan kerjamu Ibu untuk aku
Aku semakin sibuk dengan tugasku
Sikap tersirat mu selalu mengatakan, kamu pasti bisa, kamu anak yang kuat, kamu anak yang mandiri, kamu akan jadi anak yang pintar, kau akan sukses, semua ini untukmu, keringatku demi kamu..dan aku dengar..dan aku tak bisa menjawab

Semakin berat usia apakah nikmat itu akan semakin hilang?
Jika iya, aku akan sangat rindu
Dan menyesal menghabiskan masa itu hanya untuk protes
Sebuah syair merdu tak mampu membendung indah cintamu

Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi tak harap kembali, Bagai sang surya menyinari dunia
Teruslah memanjakanku Ibu
Jangan hiraukan keangkuhan dan ego anakmu ini, karena dalam hati aku masih sangat butuh sentuh lembutmu, cinta sucimu

“Jangan ikutan demo ya nak..”

“Ha? Demo?? nggaklah bu..” jawabku dangkal lalu segera berpamitan untuk segera berangkat meninggalkan Pekalongan ke Kota Pelajar.

Demo..haha hal yang tidak terpikirkan saat pemikiranku masih bocah. Hegemoni kata demo yang ada di otakku saat itu adalah fenomena kelompok orang-orang yang beramai-ramai membawa spanduk dan kertas ukuran besar bertuliskan kata-kata yang kadang tidak aku pahami, lalu membakar ban yang menimbulkan kepulan asap hitam kelam, merobohkan pagar kantor-kantor pemerintah, hingga perkelahian dan aksi lempar batu dengan aparat kepolisian yang membuat macet dimana-mana, dan darah bercucuran disana-sini.

Demikian karena itu yang “selalu” aku lihat di berita televisi. Dan yang aku lihat sebagai “demo” di situ, seperti tidak pernah ada penyelesaian, aku pun tidak pernah melihat bagaimana cara demo itu bubar. Atau, bagaimana pemerintah yang digembor-gemborkan turun meredam gemboran para demonstran misalnya. Atau mungkin, melihat salah seorang kaum kapitalis yang membatalkan rencana untuk mebangun mall di atas rumah mereka di depan riuhnya suara mereka di jalan. Tidak pernah.Yaa, mungkin media yang pelit dalam publikasikan beritanya. Mungkin karena hal ini, media, yang membuat aksi demo mendapat stigma negative dan seakan-akan hanya sia-sia. Negative yang sia-sia.

Hal itu yang membuat aku saat itu sama sekali tidak berpikir untuk menyentuh bahkan terjun kedalam aksi demo. Mungkin ini juga yang membuat Ibuku melarang keras untuk ikut demo sejak dini. Oia, mungkin perlu dijelaskan juga bahwa aku terlahir dari rahim seorang Ibu yang bekerja dengan seragam abu-abunya. Jadi bukan suatu keheranan kalau beliau tidak ingin anak-anaknya jadi demonstran liar yang harus dipaksa ditertibkan oleh keluarga besar seprofesinya seperti di tayangan televisi itu.

Namun seiring terbukanya cakrawala mengenai informasi terkait demonstrasi, melalui pengalaman-pengalaman langsung dari teman-temanku yang pernah terjun dalam aksi demo, demonstrasi kini bukan hal yang tabu di lingkunganku, apalagi sebagai mahasiswa. mahasiswa yang identik dengan aspirasinya yang kuat dan kritis menanggapi isu ketimpangan sosial.

Pernah aku bertanya kepada temanku yang pernah ikut demo buruh 1 maret 2012 kemarin.

“Buat apa si kamu ikutan demo buruh? Kan orang tuamu punya usaha sendiri, kamu sudah berkecukupan kan? Nggak nyangka ternyata kamu ikut demo juga.”

Tapi tidak kuduga dia hanya ketawa kecil memandangku konyol, “Apa kamu lupa, kalau kamu punya saudara? buruh-buruh pabrik dengan pakaian lusuh yang sering kamu lihat itu, yang kerjanya dari subuh sampai sore tapi upahnya tidak seberapa, yang diperbudak perusahaan, selalu diancam PHK yang jadi momok menakutkan buat keluarganya, selalu ingin melihat senyum anak istrinya sepulang kerja itu, mereka saudaramu yuk. Mereka menuntut hak yang sama. Pekerjaan yang pasti tanpa outsourcing atau sistem kontrak. Selama ini pengusaha yang melanggar itu tidak ada sanksi. Outsourcing itu sistem perbudakan modern, karena dia menghisap darah dan keringat buruh jadi hanya mementingkan keuntungan perusahaan semata. Kamu tau kan? dan kamu, tega? Ayolah, sudahi sikap apatismu yang semakin mencekik mereka itu.

Karena sudah berkecukupan, sebenarnya itu nilai plus buat kita untuk bisa membantu mereka. Dan mereka, sudah lemah, masih memaksakan diri menuntut hak pula. Ikut demo tu tidak seburuk yang kamu bayangkan, di sana bisa dapat banyak teman baru, solidaritas mereka tinggi, malah kebanyakan dari mereka adalah orang-orang kritis berintelektual sehingga disana banyak cerita, bisa saling berbagi. Lagian yang kemarin itu demonya tertib tanpa kekerasan, emosi dituangkan dalam tulisan-tulisan dan orasi. Selain menuntut penghapusan outsourcing, mereka juga menolak politik upah murah, menolak kenaikan BBM, dan menuntut pendidikan gratis SD-Perguruan Tinggi. Semua itu untuk kesejahteraan rakyat secara umum.

Syukur-syukur suara kita bisa didengar pemerintah, wah pasti senang sekali bisa ikut bantu. Sayangnya yang demo kemarin itu, pemerintah belum serius tanggapi unjuk rasa kaum buruh. Kayaknya kalau Perda penghapusan outsourcing belum turun, bakal ada aksi demo lagi. Perjuangan hak kaum buruh itu harga mati, jadi harusnya kita dukung.” Dia menjelaskan sambil meluruskan pandangan miringku tentang aksi demo.

“Ooh, gitu ya.” Skak matt, aku bingung mau jawab apa.

Selain demo buruh, sebelumnya, demo BBM Maret 2012 kemarin adalah demo terbesar yang pernah aku lihat dengan mata kepalaku sendiri selama tinggal satu setengah semester di DIY Yogyakarta. Malah dengar-dengar, “aksi 27 Maret” itu merupakan demo terbesar di Indonesia bahkan di dunia dengan demonstran kurang lebih sebanyak 2,5juta mengalahkan demo di Mesir saat menjatuhkan pemerintahan Husni Mubarak dan mengalahkan jumlah massa demonstrasi Tunisia yang menjatuhkan Ben Ali. Dan demonstran itu masih bisa bertambah jika dihitung pula dengan jumlah demonstran yang pasif.

Kenapa begitu heboh demonstrasi di Negeri ini? Kalau dipikir-pikir, demonstran yang mayoritas dipegang kaum mahasiswa dan buruh ini menandakan bahwa isu yang sedang terjadi memang ada yang tidak beres. Ini bukan mereka yang cari masalah kan, justru momentum ini seakan menjadi lambang dari gejala ketidakmampuan pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya.

Dan menurutku pribadi, aksi-aksi kekerasan yang terjadi dalam demonstrasi bukan sepenuhnya salah mereka. Itu hanya cari perhatian terhadap pemerintah. Seringnya media yang terus-menerus menunjukan aksi kekerasan menjadikan buram penglihatan mereka jika melihat demo tanpa tindakan anarki. Dan lagi-lagi itulah yang ditakutkan Ibuku. Haha oke aku dan mungkin kalian yang senasib bisa melakukan demonstrasi tanpa turun kejalan, bisa ikut bergerak melalui kekuatan media dan tangan aktif. Karena menurut Subcomandate Marcos, Kata adalah Senjata. Dan beruntunglah kalian yang masih mempunyai kemerdekaan bersuara itu.

Aku masih ingat humor Wiwid Prasetya saat jadi pembicara di kampusku saat aku masih maba.
“Mahasiswa memang takut sama dosen, dosen takut sama rektor, rektor takut sama menteri, menteri takut sama presiden, dan presiden? Takut sama mahasiswa.” Haha. Oia, iya juga ya.Semua berpikiran sama. Tapi, yang kebanyakan orang lihat saat ini tentang mahasiswa yang berdemo adalah asumsi tetang hal yang gila, bahkan dianggap bodoh dan sia-sia yang merelakan kulit putihnya untuk terbakar matahari di jalanan.Sedih-sedih, mahasiswa sekarang juga mulai kehilangan jati dirinya, karena kini hanya sebagian dari mereka yang mau membuat artikel dan mencerdaskan bangsa. Padahal kalau diingat-ingat lagi, anggaran 20 persen dari rakyat untuk penikmat pendidikan harusnya membuat kita berterimakasih.
Ada seorang dosen mengatakan “Ketika rakyat telah memberikan subsidi namun ketika rakyat menjerit minta pertolongan kita hanya diam, tanyalah hati nuranimu dan renungkan subsidi yang diberikan rakyat padamu.” Mungkin kalimat ini bisa kembali kita pikirkan.

Demo..Dengan stigma burukdalam media..

Padahal, di balik aksi keras para demonstran itu terkandung solidaritas kuat dan niat-niat mulia bagi kelompok mereka maupun untuk bangsa. Mereka hanya memperjuangkan hak-hak, yang diabaikan demi kekuasaan politik atau kejayaan para kaum kapitalis. Mereka mengadakan protes yang pantas saat melihat anak-anak mereka kelaparan dan kurang gizi, saudara mereka terlunta-lunta mencari pekerjaan karena gulung tikar, kedinginan saat rumah digusur hanya karena tidak punya surat kepemilikan tanah, keberatan saat ingin membayar harga barang-barang pokok yang kian melunjak, ataupun melihat anak-anak yang tak sanggup membayar sekolah. Mereka hanya berunjuk rasa, tentang rasa keberatan itu. Apa itu salah? Salah po? Terus kalo tidak dengan demo, mereka kudu piye?

01.00 wib
23-09-2012